Sukarno lahir pada 6 Juni 1901. Tepat pukul setengah enam pagi, menjelang fajar menyingsing. Dia lahir bersamaan dengan lahirnya abad baru: abad ke-20.
Sang ibunda, Ida Ayu Nyoman Rai, punya kepercayaan yang dipegang kuat-kuat: mereka yang terlahir jelang terbitnya matahari ditakdirkan untuk berteman dengan nasib baik.
“Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, Nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar,” kata Sukarno mengenang pesan ibundanya.
Kalender lahirnya Sukarno juga menandai terbitnya fajar abad baru: abad ke-20. Abad ke-19, yang oleh Sukarno disebut “zaman gelap”, sudah berlalu. Tahun 1901, dunia menginjak zaman baru.
Zaman baru ini ditandai oleh pasang revolusi kemanusiaan. Beberapa bangsa terjajah, seperti Haiti dan Filipina, baru saja meraih kemerdekaannya.
“Bangsa-bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang,” kata Sukarno.
Bersamaan dengan itu, di berbagai belahan dunia, dari Eropa hingga Asia, bangkit gerakan rakyat kaum tertindas yang disinari oleh cita-cita sosialisme.
Selain pasang revolusi, abad ke-20 juga ditandai dengan revolusi pengetahuan. Sukarno menyebutnya dengan istilah “abad atom” dan “abad luar angkasa”.
Di tahun-tahun itu, Orville dan Wilbur Wright mulai melakukan uji coba menerbangkan pesawat temuannya. Meskipun uji coba yang berhasil baru terjadi pada Desember 1903.
Di tahun itu juga, Guglielmo Marconi berhasil mengirim transmisi radio pertama melintasi samudera Atlantik. Peristiwa ini menandai revolusi komunikasi jarak jauh di zamannya.
Saat itu juga, film A Trip to the Moon, karya sutradara Perancis George Méliès, menandai imajinasi manusia untuk pergi ke bulan hadir secara visual. Meskipun, baru pada 1950-an, misi serius ke bulan baru dimulai.
Selain semua peristiwa sosial dan sains itu, kelahiran Sukarno juga disambut peristiwa alam: letusan gunung Kelud.
Memang, bila melihat sejarah, letusan gunung Kelud mendahului kelahiran Sukarno. Gunung api paling aktif di pulau Jawa itu meletus pada 22-23 Mei 1901. Artinya, gunung Kelud meletus dua minggu sebelum Sukarno.
Sukarno dan keluarganya sangat percaya angka-angka. Dia lahir di angka serba enam: 6-6-1901. Dengan angka enam-enam itu, Sukarno berbintang gemini. Sesuatu yang digambarkannya berwatak ganda.
“Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan,” terangnya.
Sukarno mengakui dirinya memang memiliki karakter yang berlawanan: lunak dan keras. Kadang berpikir rasional, kadang terjerembak dalam perasaan.
“Aku bisa menjebloskan musuh-musuh negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkarnya,” katanya.
Saat Sukarno lahir, kondisi keluarganya terlilit kesulitan ekonomi. Jangankan memanggil dokter, mendatangkan dukun saja orang tuanya tidak sanggup.
“Bapak (Raden Soekeni Sosrodihardjo) tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir,” kenang Sukarno.
Padahal, melihat silsilah keluarga, bapak-ibu Sukarno sebetulnya berasal dari keluarga elit. Ibunya punya ikatan darah dengan Raja Singaraja yang terakhir. Sedangkan bapaknya merupakan keturunan Sultan Kediri.
Namun, ada kejadian yang membuat orang tua Sukarno terbuang. Konon ceritanya, pernikahan Sukemi dengan Ida Ayu tak mendapat restu orang tua.
Sukemi, seorang guru sekolah, beragama Islam dan berasal dari Jawa. Di masa mudanya, Sukemi ditempatkan sebagai guru muda di Singaraja. Di sinilah ia mengenal dan jatuh cinta dengan Ida Ayu.
Di sisi lain, Ida Ayu berasal dari Kasta Brahmana. Masa itu, jarang terjadi gadis lokal, apalagi dari Brahmana, menikah dengan laki-laki dari luar.
“Satu-satunya jalan bagi mereka adalah kawin lari,” kata Sukarno.
Meski pernikahan itu kemudian disahkan oleh pengadilan, tetapi Ida Ayu mendapat denda 25 ringgit. Dia terpaksa menjual warisan emasnya untuk membayar denda.
Tak lama kemudian, kedua pasangan itu pindah ke Jawa. Tepatnya ke Surabaya.
“Di sanalah putra Sang Fajar dilahirkan,” kata Sukarno.
Perihal tempat lahir Sukarno, ini sempat jadi kontroversi. Diperkeruh oleh proyek de-Sukarnoisasasi yang berusaha mengaburkan segala fakta tentang Sukarno, termasuk asal-usulnya.
Di masa Orba, Sukarno disebut lahir di Blitar, Jawa Timur. Buku-buku pelajaran sekolah di masa Orba menyebut Blitar sebagai tempat kelahiran Sukarno.
Namun, beragam versi menyebut Sukarno lahir di kota Surabaya. Pengakuan Sukarno dalam buku yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, menyebut Surabaya sebagai tempat kelahirannya.
Lambert Giebels dalam bukunya, Soekarno, Biografi Politik 1901 – 1950, menyebut Soekarno dilahirkan di Jalan Pasar Besar, Surabaya. Di buku yang sama, Giebels menyebut tempat kelahiran Bung Karno di Gang Lawang Seketeng, suatu jalan masuk di kampung di seberang Kali Mas.
Prof. Kapitsa M.S. & DR Maletin N.P, yang menulis buku Soekarno: Biografi Soekarno, menyebut Sukarno dilahirkan di Jawa, Surabaya, pada tanggal 6 Juni 1901.
Belakangan, tepatnya sejak 2007, sejumlah sejarawan dan wartawan berusaha menelusuri tempat kelahiran Bung Karno. Hasilnya, mereka menyimpulkan bahwa Sukarno dilahirkan kampung Pandean Peneleh Gang IV No. 40, Surabaya.