Foto : Bung Karno dimasa Revolusi Indonesia. |
Negosiasi dengan Belanda Part 2
GMNISULTRA.OR.ID | Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan Garis Van Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan. Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan hijrah, merujuk pada perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 M, dan meyakinkan bahwa mereka akan kembali.[104] Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal laut. Perbatasan ini diresmikan melalui Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948; penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri. Pada saat yang bersamaan, Sjarifuddin mulai merasionalisasi TNI (Program Re-Ra) dengan memangkas jumlah pasukan. Pada saat itu, tentara reguler terdiri dari 350.000 personel, dan lebih dari 470.000 terdapat di laskar.
Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil adalah pelaksana taktis operasional.
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27 Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu Djenderal Major[u] A.H. Nasution. Angkatan perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam mosi tidak percaya atas keterlibatannya dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, Mohammad Hatta, berupaya untuk menerapkan program rasionalisasi.
Hal ini menimbulkan perdebatan di antara kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan pendorong semangat bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang program rasionalisasi. Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni 1948. Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Djenderal Major Soesalit Djojoadhiningrat (mantan PETA dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL) dan Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, Kolonel Hidajat Martaatmadja, menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau Sumatra.
Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari Partai Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia untuk mengobarkan revolusi proletar di Madiun, Jawa Timur, yang berlangsung pada tanggal 18 September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk memadamkan revolusi;Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai antena perdamaian sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk berdamai, Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September. Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang terjadi.
(Bersambung..)